HANTU ITU BERNAMA UJIAN NASIONAL

/
2 Comments

Masih bulan Februari tapi para siswa tingkat akhir sudah sibuk melakukan pembekalan Ujian Nasional. Tak luput keponakan dan sepupu saya. Melihat wajah lelah mereka sepulang sekolah rasanya tak tega. Mereka lebih lelah dari orang kantoran yang seharian berkutat dengan pekerjaan. Bukan bermaksud meng-hiperbola-kan tapi ini sungguh terjadi. Keceriaan seakan terenggut dari mereka ketika di ingatkan sudah sejauh mana persiapan ujiannya. Seketika mimik muka mereka berubah serius dan penuh rasa takut. Saya paham akan fenomena ini karena saya juga pernah melalui fase seperti itu. Tentu saja berbeda porsi nya dalam setiap jenjang pendidikan.
1.      Ujian Akhir Tingkat Madrasah
Saat Ujian Akhir tingkat Madrasah (kebetulan saya sekolah di Madrasah) rasa takut itu belum terlalu kentara. Saat itu saya belum terlalu takut akan ujian nasional, saya malah lebih takut karena di ledekin Kepala Sekolah bahwa saya tidak bisa masuk SMP karena badan saya terlalu kecil. Hampir setiap hari sepulang les tambahan saya mampir kerumah bidan untuk mengukur tinggi badan, memastikan bahwa saya layak masuk SMP dengan tinggi badan tak lebih dari satu meter.

2.      Ujian Akhir Tingkat Sekolah Menengah Pertama
Setelah lulus dari Madrasah saya memutuskan masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Alasannya karena sekolah SMP itu lebih dekat dengan tempat tinggal saya. Masa SMP itu masa paling absurd sepanjang hidup saya. Masa Pubertas, begitu orang-orang menyebutnya. Saat SMP saya melakukan kenakalan-kenakalan remaja yang luar biasa tapi saya tidak menyesalinya (Haha). Saya mengingat dengan baik dan mengenangnya. Dua tahun setengah telah berlalu, tibalah saatnya kami harus melakukan les tambahan untuk persiapan Ujian Nasional. Sebagai siswa badung, saya tidak takut. Sama sekali, toh ‘semuanya akan lulus’ batinku.
Saat itu terjadi beberapa perubahan di sistem UN. Diantaranya kenaikan Nilai Standar Kelulusan dan Ujian ulang jika tidak lulus. Untuk kebijakan yang pertama cukup membuat saya menelan ludah pahit. Bagaimana tidak, sebagai siswa badung saya tak pernah mendapat rangking walau hanya masuk sepuluh besar di kelas. Padahal saat masih Madrasah saya sempat membawa nama baik Madrasah sebagai juara umum tingkat Kabupaten. Entah kemampuan otak saya yang menurun atau tingkat kenakalan saya yang semakin meningkat tapi sepertinya kedua hal itu cukup berpengaruh ke nilai akademis saya semasa SMP. Kebijakan kedua membuat saya tersenyum lega, paling tidak ada kesempatan kedua jika saya gagal di Ujian Nasional walau itu juga mengerikan membayangkan raut wajah orang tua saya yang mengetahui anaknya ini tidak lulus Ujian Nasional.
Mulai saat itu, hantu bernama Ujian Nasional itu mulai menghantui setiap malam. Membuat saya berubah drastis, dari badung menjadi anak manis yang rajin belajar. Saat Ujian Nasional berlangsung saya tak henti-hentinya berkeringat. Pengawas Ujian mengingatkan agar lembar jawaban tidak basah, robek atau terlipat karena jika itu terjadi maka lembar ujian tidak bisa di scanner. Itu tahun pertama penggunaan lembar jawaban computer, ribet dan bikin deg-degannya bertambah satu tingkat. Rasanya konyol kalo harus gagal ujian hanya karena lembar jawaban ujiannya basah atau kotor karena keringat sementara kita sudah melakukan usaha se-maksimal mungkin untuk menjawab soal-soal yang di berikan.
Di antara empat mata pelajaran yang di ujikan (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam), matematika yang sangat menguras pikiran. Pengumuman hasil UN menjadi drama yang sangat memilukan di antara para siswa, termasuk saya. Saya tak berbicara seharian itu. Tak ada yang ingin saya bicarakan, saya terlalu takut membayangkan hasil UN yang sudah saya kerjakan. Dan akhirnya perjuangan itu berbuah manis, saya lulus dengan peringkat ke 8. Kejutan? Tentu saja. Kemana nilai saya selama ini? Entahlah. Wallahu ‘alam bisawab.

3.      Ujian Nasional tingkat Sekolah Menengah Atas
Setelah drama Ujian Akhir Nasional di Sekolah Menengah Pertama usai, berlanjut ke session berikutnya. Saya harus menjalani satu kali lagi drama Ujian Nasional. Kali ini tendensinya lebih besar. Ketakutan lain selain lulus Ujian Nasional adalah ‘kemana setelah ini?’ Ujian Nasional aja udah bikin kepala puyeng tujuh keliling di tambah lagi harus mikir Universitas mana yang bakal di tuju. Saat itu Ujian Nasional mulai menggunakan paket soal. Walau hanya dua paket yang di berikan (A dan B) itu cukup membuat kami kelabakan. Belum lagi standar kelulusan yang di naikan lagi. Duuh … benar-benar membuat selera makan hilang. Sekarang kabarnya akan di tambah delapan paket lagi jadi sepuluh paket. Fiiuuhhh … Untung saya sudah tamat.


            Saat ini saya sedang membayangkan betapa gusarnya para siswa tingkat akhir. Tapi percayalah, Dek. Badai ini akan berlalu. Seperti mentari yang terbit lagi di kala pagi. Ini hanya malam yang gelap tanpa bintang tapi tenang sekarang kan banyak yang jualan lampu LED (hehe). So, tetap tenang dan fokus. Salam semangat dari Kakak manis ^,^
                                                                        

        


You may also like

2 komentar:

  1. geleng geleng kepala.. hehe

    mungkin yang harus dibenahi itu mindsetnya kali ya.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.